i’jazul Qur’an

Alquran adalah mukjizat abadi Nabi Besar Muhammad saw. Adalah sangat istimewa, mukjizat abadi itu justru merupakan sebuah Kitab, dan dengannya Allah menutup kenabian. Tidaklah mengherankan apabila kemudian Alquran menjadi Kitab yang paling banyak dibaca orang, dikaji, dan ditelaah. Dan sungguh suatu “mukjizat” bahwa kajian-kajian tersebut senantiasa menjadikan orang semakin kagum dan ingin mengkaji lebih dalam.

Salah satu dari keutamaan Alquran, seperti seringkali dibicara¬kan, adalah keindahan bahasanya (balaghah). Belakangan, para peneliti modern dengan memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi-mengungkap kenyataan baru tentang adanya hubungan makna antara kata-kata tertentu dalam Alquran, yang mempunyai frekuensi penyebutan yang sama banyaknya, Di sampin itu pula banyak penemuan-penemuan ilmiyah yang sesuai dengan apa yang telah di tetapkan dalam Al-Qur’an 1400 tahun yang lalu, hal itu benar-benar sesuai dengan janji Allah sendiri yang di firmankan dalam sebuah ayat:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami di sekitar jagat raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushshilat: 53)

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الظَّالِمُونَ

Bahkan ia merupakan ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu ….. (AI-Ankabut: 49)

Oleh karena itu pula maka Allah SWT telah menjaga AI-¬Quran, di samping juga telah menjaga pendahulu-pendahulunya. Sehingga Ia menjaga Bahasa Arab dari kepunahan yang merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang tidak mengalami perubahan, pergantian, kepunahan dan keterbelakangan sebagaimana yang dialami oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Dengan asumsi bahwa bahasa adalah seperti wujud yang hidup dan berkembang secara bertahap dan berjalan seperti berkembangnya manusia, dimulai masa kanak-kanak, berkembang sampai masa remaja dan masa tua untuk selanjutnya lanjut usia dan mati. Berdasarkan teori ini, maka perjalanan akhir setiap bahasa di dunia adalah kematian. Ini merupakan persoalan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau kita membaca sejarah bahasa di dunia, kita tidak akan mendapatkan satu bahasa klasik pun pernah digunakan oleh manusia yang masih hidup sebagaimana asalnya. Namun demikian teori ini tidak ber¬laku bagi bahasa Arab. Apa rahasianya? Bukankah bahasa Arab sama seperti bahasa yang lain? Pada dasarnya memang bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia, hanya saja rahasia ketidakrelevanan teori diatas terhadap bahasa Arab adalah bukan terletak pada bahasa itu send’tri, melainkan pada mukjizat besar, yaitu Al-Quran Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa tersebut, sehingga bahasa tersebut harus terjaga demi ketegaran AI-Quran; karena Al-Quran menggunakan “bahasa Arab yang terang” (AI-Syu’ara: 195).

 BUKTI-BUKTI KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN
1. Tantangan Allah terhadap seluruh mahluknya di muka bumi
Dalam beberapa ayatnya Allah menantang kepada orang-orang yang ingkar terhadap Al-Qur’an, untuk membuat ayat-ayat yang setara dengan Al-Qur’an dalam segi sastra dan kedalaman maknanya, salah satu ayatNYA adalah:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah bahwa sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk membuat sesuatu yang sama dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, kendatipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (Al-Isra: 88)

Surat ini adalah surat Makiyah, begitu juga ayat tersebut. Menurut pendapat yang masyhur, surat ini merupakan surat kelima puluh. Al-Quran yang sudah diturunkan ketika itu tidak lebih dari setengahnya. Dengan demikian, maka tantangan ketika itu adalah membuat serupa dengan AI-Quran yang telah diturunkan, ketika ayat tantangan tersebut diwahyukan. Kaum Musyrikin men¬dengarkan tantangan tersebut, sehingga mereka bungkam di hadapannya; mereka tidak bisa berbuat sesuatu. Kalaulah mereka mampu menentangnya pasti mereka akan melakukanny, sepsrti yang di lakukan musilama al-kadzab, ia mencoba membuat tandingan Al-Qur’an akan tetapi tidak berhasi menyamai, walaupun dalam membuat beberapa ayat saja.
2. Kesucian Al-Qur’an selalu terjaga sampai hari qiamat

Al-Quran adalah sebuah Kitab yang disucikan dari berbagai ikhtilaf, kukuh dalam segala halnya, baik di tengah maupun di kedua sisinya; dalam hal balaghah maupun bayan, hukum, keadilan dan etikanya. Di dalamnya tidak ada kontradiksi dan kerancuan. Ia benar-benar merupakan firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan sekali-kali bukanlah Al¬Quran itu senda gurau. Semua yang termaktub di dalamnya berbeda dengan hal-hal yang dibuat oleh makhluk, dalam segala halnya, baik dalam hal struktur kata, balaghah, hukum-hukum maupun prinsip-prinsipnya; baik dalam hal surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf, struktur-struktur kalimat, kemuliaan dan ketinggian, maupun ungkapan dan kalimat-kalimatnya. Kalimat itu sendiri mencakup balaghah-nya.

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا

Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka telah mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya. (An-Nisa: 82)

 BUKTI KEBENARAN AL-QUR’AN TENTANG INFORMASI PENGETAHUAN ALAM
3. Infofmasi Al-Qur’an tentang penciptaan Bumi.
Dalam beberapa ayatnya allah mengisyaratkan tentang penciptaan bumi, yang ahir-ahir ini telah dapat di buktikan secara ilmiah oleh para ilmuan, mereka menyebutnya dengan teori big bang. Ayat-ayat tersebut adalah:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah mencipta¬kan langit dan bumi selama enam masa, lalu Ia bersemayam di atas ‘Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan pula oleh-Nya) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan seru sekalian alam. (Al-A’raf: 54)
Dan juga firmannya:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al Qur’an, 21:30)

Kata “ratq” yang di sini diterjemahkan sebagai “suatu yang padu” digunakan untuk merujuk pada dua zat berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Ungkapan “Kami pisahkan antara keduanya” adalah terjemahan kata Arab “fataqa”, dan bermakna bahwa sesuatu muncul menjadi ada melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur dari “ratq”. Perkecambahan biji dan munculnya tunas dari dalam tanah adalah salah satu peristiwa yang diungkapkan dengan menggunakan kata ini.
Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat “fatq”. Keduanya lalu terpisah (“fataqa”) satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu, termasuk “langit dan bumi” yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan “ratq” ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang dikandungnya untuk “fataqa” (terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam semesta terbentuk.

4. Informasi tentang penciptaan dan fungsi tujuh lapisan langit dan bumi
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الأرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الأمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Allah-lah Yang menciptakan tujuh langit dan reperti itu pula bumi ….. (AI-Thalaq: 12)

Sifat langit ini telah dibuktikan oleh penelitian ilmiah abad ke-20. Atmosfir yang melingkupi bumi berperan sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan. Dengan menghancurkan sejumlah meteor, besar ataupun kecil ketika mereka mendekati bumi, atmosfir mencegah mereka jatuh ke bumi dan membahayakan makhluk hidup.
Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, – seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai bumi.

Kebanyakan manusia yang memandang ke arah langit tidak pernah berpikir tentang fungsi atmosfir sebagai pelindung. Hampir tak pernah terlintas dalam benak mereka tentang apa jadinya bumi ini jika atmosfir tidak ada. Foto di atas adalah kawah raksasa yang terbentuk akibat hantaman sebuah meteor yang jatuh di Arizona, Amerika Serikat. Jika atmosfir tidak ada, jutaan meteorid akan jatuh ke Bumi, sehingga menjadikannya tempat yang tak dapat dihuni. Namun, fungsi pelindung dari atmosfir memungkinkan makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupannya dengan aman. Ini sudah pasti perlindungan yang Allah berikan bagi manusia, dan sebuah keajaiban yang dinyatakan dalam Al Qur’an.

Fungsi pelindung dari atmosfir tidak berhenti sampai di sini. Atmosfir juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa, yang mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol.
Tidak hanya atmosfir yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya. Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat keberadaan medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus- menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi makhuk hidup. Jika saja sabuk Van Allen tidak ada, semburan energi raksasa yang disebut jilatan api matahari yang terjadi berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi.

5. Peredaran planet planet
Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Al Qur’an, 21:33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al Qur’an, 36:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur’an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْحُبُكِ
“Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (Al Qur’an, 51:7)

Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah “berenang” sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya. Dalam Al Qur’an, Allah mengarahkan perhatian kita kepada sifat yang sangat menarik tentang langit:
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang ada padanya.” (Al Qur’an, 21:32)

6. Fungsi gunung gunung
وَجَعَلْنَا فِي الأرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka…” (Al Qur’an, 21:31)
Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi. Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.
Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.
7. Terjadinya hujan
Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan.
Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat, Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-abad yang lalu, yang memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan,
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira” (Al Qur’an, 30:48)
Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.
TAHAP KE-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.
TAHAP KE-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.
TAHAP KE-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.
Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Al-Qur’anlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.
8. Adanya perairan laut yang terpisah

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ . بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لا يَبْغِيَانِ
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui oleh masing-masing.” (Al Qur’an, 55:19-20)
Sifat lautan yang saling bertemu, akan tetapi tidak bercampur satu sama lain ini telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru ini. Dikarenakan gaya fisika yang dinamakan “tegangan permukaan”, air dari laut-laut yang saling bersebelahan tidak menyatu. Akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan mencegah lautan dari bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis, Richard A., Jr. 1972, Principles of Oceanography, Don Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing, s. 92-93.)
9. Suasana di Kedalaman laut

أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (Al Qur’an, 24:40)
Keadaan umum tentang lautan yang dalam dijelaskan dalam buku berjudul Oceans:
Kegelapan dalam lautan dan samudra yang dalam dijumpai pada kedalaman 200 meter atau lebih. Pada kedalaman ini, hampir tidak dijumpai cahaya. Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak terdapat cahaya sama sekali. (Elder, Danny; and John Pernetta, 1991, Oceans, London, Mitchell Beazley Publishers, s. 27)
 BUKTI KEBENARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN MANUSIA
1. Air susu ibu
Air susu ibu adalah suatu campuran ciptaan Allah yang luar biasa dan tak tertandingi sebagai sumber makanan terbaik bagi bayi yang baru lahir, dan sebagai zat yang meningkatkan kekebalan tubuhnya terhadap penyakit. Bahkan makanan bayi yang dibuat dengan teknologi masa kini tak mampu menggantikan sumber makanan yang menakjubkan ini.
Setiap hari ditemukan satu manfaat baru air susu ibu bagi bayi. Salah satu fakta yang ditemukan ilmu pengetahuan tentang air susu ibu adalah bahwa menyusui bayi selama dua tahun setelah kelahiran sungguh amat bermanfaat. (Rex D. Russell, Design in Infant Nutrition, http:// www. icr.org/pubs/imp-259.htm)
Allah memberitahu kita informasi penting ini sekitar 14 abad yang lalu, yang hanya diketahui melalui ilmu pengetahuan baru-baru ini, dalam ayat-Nya “…menyapihnya dalam dua tahun…”.
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Al Qur’an, 31:14)
2. Informasi tentang sidik jari
Saat dikatakan dalam Al Qur’an bahwa adalah mudah bagi Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya, pernyataan tentang sidik jari manusia secara khusus ditekankan: أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَه. بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ

“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna.” (Al Qur’an, 75:3-4)
Penekanan pada sidik jari memiliki makna sangat khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang adalah khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini memiliki serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain.

proposal penelitian tauhid sosial

BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Derasnya arus perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi seakan tak terkendali lagi, teknologi di satu sisi mampu memanjakan ummat manusia dalam berbagai kemudahan yang di tawarkanu untuk memenuhi kebutuhannya, namun di sisih lain kemajuan itu mengakibatkan sebagian besar ummat manusia lalai dan hanyut dalam kekejihan yang mereka lakukan. Nilai-nilai agama yang seharusnya mereka junjung tinggi justru di kesampingkan, hal itu di lakukan mereka yang beragama apapun itu, tak terkecuali Islam, ummat islam yang dulunya berperadaban begitu bernilai tinggi namun kini telah mengalami krisis moralitas, sifat-sifat kejahiliaan dan kemusyrikan kini semakin merajalela, hedonismo dan matrealismo smakin menjadi jadi yang mengakibatkan ketidak adilan dan ke timpangan dalam berbagai aspek kehidupan, islam yang di katakan rahmatan lil alamin seperti tidak nampak lagi dalam dunia nyata, begitupun di katakan islam adalah truble makker bagi kemapanan yang tidak adil tak mampu lagi di jalankan oleh ummatnya, pendidkan islam yang mestinya mampu menjadikan perbaikan moral bangsa ini pun terkontaminasi nilai nilai kemunafikan, misalkanya saja ketika ujian nasional, sudah bukan rahasia lagi anak-anak di ajari berbohong oleh para gurunya, jika demikian itu yang terjadi bagaimana mungkin pendidikan mampu mengantarkan anak-anak bangsa yang mandiri dan berkepribadian islami.
Berbagai solusi di usahakan namu nampaknya belum mampu membuahkan hasil yang signifikan. buktinya , distorsi nilai nilai islam yang berkembang di masyarakat sampai kinipun semakin melenceng jauh dari landasannya, pemuda yang diharapkan menjadi tonggak perubahan (reformasi nilai keagamaan) justru hanyut dalam berbagai permasalahan.
Padahal pemuda adalah makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang untuk menjadi dewasa di kemudian hari, yang diharapkan menjadi investasi bagi orangtua dan masyarakat dan Negara di masa mendatang. Oleh karenanya ia harus dipersiapkan secara benar dan serius dengan cara mengarahkan, membentuk dan mengembangkan potensi intelektual dan kepribadiannya melalui rasio, moral dan relijius. Sehingga, kelak di kemudian hari tidak menjadi ‘bencana’ bagi dirinya dan ‘musibah’ bagi banyak pihak.
Diskriminasi dan tak acuh terhadap nilai-nilai agama cenderung tidak berefek positif bagi kehidupan keluarga dan sosialnya, apapun alasannya, karena pada ahirnya akan mengalami disfungsi agama. Karena agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang sakral-teologis tidak bersentuhan dengan dunia empirik yang profan-sosiologis Akibatnya, kedua wilayah ini tidak pernah berkomunikasi secara intim dan berjalan sendiri-sendiri tanpa harmonisasi.
Fenomena belakangan yang muncul adalah tindak kekerasan (violence), penyimpangan (deliquen), kriminal, dan eksploitasi terhadap sesama remaja karena disebabkan pada kondisi adaptatif, tekanan sosial, ekonomi dan budaya. Akibatnya, harus dibayar mahal yakni remaja tidak bisa berkembang secara normal dan berkeadaban (shalih), malah sebaliknya generasi muda malah terjebak dalam kubangan kemajuan sains, teknologi dan dunia materialistik.
munculnya kasus-kasus sosial yang melibatkan kaum remaja, baik bersifat individual maupun kolektif. Mulai dari yang ringan, sedang hingga sampai yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku meyimpang dan tindak kriminalitas. Seperti misal fenomena munculnya gang, tawuran antar sekolah, kebut-kebutan di jalan raya, “mbolos” sekolah secara berjama’ah, pesta miras, pesta sek bebas, main judi, pasang taruhan dalam video game dan Play Station, pengguna narkoba, sindikat curanmor dan berbagai aktivitas negative lainnya adalah bukti lemahnya kontrol diri (keimanan dan ketaqwaan) mereka . mungkin hal-hal di atas belum merebah di daera lamongan dan sekitarnya tapi jika hal itu tidak di sikapi secara dini dengan pendekatan nilai-nilai agama maka dua atau tiga tahun yang akan datang bukan tidak mungkin permasalaha remaja seperti di atas akan terjadi di daera lamongan. Karena, munculnya fakta sosial – termasuk yang melibatkan remaja – dipastikan ada norma-norma yang tidak berfungsi atau bahkan hilang, yang semestinya harus diketahui dan dipahami untuk dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Tetapi dalam realitasnya mengalami disfungsi nilai-nilai, sehingga tidak mempunyai efek positif dalam kehidupan sosiologis.
Nilai-nilai yang terkandung dalam islam seharusnya cukup untuk dijadikan landasan sikap dan tindakan dalam merepons tantangan perubahan zaman yang sarat dengan berbagai problem kehidupan dari berbagai dimensinya. Setiap problema dalam kehidupan sudah barang tentu membawa konsekuensi-konsekuensi yang kadang abnormal dan irasional (khariq li al-‘adah wa ghair al-ma’qul), termasuk dalam melihat dan melihat persoalan remaja dalam kehidupan kontemporer. Idealnya, nilai-nilai agama secara fungsional dapat berdampak positif dalam kehidupan dan pergaulan sosial
Banyaknya komunitas-komunitas sosial pemuda seperti IPNU, IRM, PMII,HMI,HTI KARANGTARUNA,REMAS, Dll adalah sebenarnya suatu modal (stright) yang apabila di kembangkan dan di bina serta kontrol secara baik dan seimbang antara nilai-nilai tauhid indifidual maupun tauhid sosialnya, maka realita yang seperti di atas tidak perlu terjadi, di sisih lain mereka (PEMUDA) akan mampu mengembangkan bakatnya secara maksimal dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya akan muncul generasi-generasi yang unggul dan peka terhadap nilai-nilai islam di masa yang akan datang.
secara psikologis maupun emosional, mereka (pemuda) suka berkompetitif sesuai kecendrungan yang ada pada dirinya, dan akan sangat berbahaya jika mereka di biarkan tampa kontrol yang sesuai nilai-nilai islam, maka pada gilirannya mereka akan menjadi pribadi-pribadi bebas dan lupa akan norma-norma agama yang seharusnya menjadi pedoman hidupnya
Wacana di atas adalah realita yang terjadi hingga kini, krisis nilai-nilai agama terus meningkat, kalaupun toh ada usaha-usaha pembinaan ahlaq dan nilai-nilai agama. Akan tetapi usaha usaha itu belum sebanding dengan pengaruh-pengaruh negatif yang bersifat global, belum lagi kerancauan yang terjadi dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan agama.
Dalam mengatasi permasalahan di atas di rasa perlu adanya kontekstualisasi nilai nilai tauhid sisial, dalam hal ini berarti nilai-nilai sosial harus senantiasa sesuai konteks islam, begitupun sebaliknya. Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam dengan serangkaian nilai yang dikandungnya, tidak cukup hanya dipahami sebagai doktrin semata yang ternyata tidak mampu menjawab persoalan zaman hari ini.[ ] Sebagai muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam bentuk ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk perbuatan. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah) seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah seseorang sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi perilaku sosialnya.[ ]
Penelitian ini kami fokuskan pada organisasi ke pemudaan karan pemuda adalah penerus bangsa dengan berbagaai potensi yang mereka miliki. Dr. Mustafa Muhammad Thahan dalam Risalah Pergerakan Pemuda Islam menyebutkan sekian potensi pemuda Islam, antara lain [ ]:
1) Kekuatan Pemuda ( Quwwatu As-Syabab)
2) Obyektif / Memberi tanpa berpihak ( Al-Atho bila tahazzub)
3) Kelompok yang semangat Bekerja ( Qoumun Amaliyyun)
4) Gemar Berdiskusi dan Syuro secara terbuka ( As-Syuro bila Istbidad)
5) Jauh dari Fanatisme Golongan ( Alamiyah duuna Taashob)
Berdasarkan permasalahan di atas kami akan meneliti salah satu organisasi pemuda yaitu IPNU_IPPNU Solokuro, yang dalam pandangan kami IPNU adalah salah satu organisasi pemuda yang telah berbaur dengan masyarakat dan senantiasa mempertahankan nilai-nilai islam yang telah di tinggalkan sebagian besar ummatnya.
istilah tauhit sosial peneliti gunakan dalam memaknai aktifitas ke organisasian IPNU_IPPNU yang bersifat sosian. Dalam masalah ini peneliti akan mengkaji secara mendalam bagaimana nilai-nilai ke tauhidan yang ada di organisasi IPNU-IPPNU itu di realisasikan dan sejauh mana kesesuaian program tersebut dengan konteks ke islaman, juga dampak positif bagi para kadernya maupun masyarakat pada umumnya, maka dari itu judul yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah : KONTEKSTUALISASI NILAI-NILAI TAUHID SOSIAL DALAM AKTIFITAS BER ORGANISASI KEPEMUDAAN (Study kasus di organisasi kepemudaan IPNU-IPPNU Solokuro Lamongan Jawa Timur Tahun 2011)

B. PERUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana prilaku sosial organisasi kepemudaan dalam kehidupan bermasyarakat.?
b. Bagaimana kontekstualisasi nilai-nilai tauhid sosial yang di lakukan organisasi ke pemudaan dalam kehidupan bermasyarakat.?
c. Bagaimana pengaruh kontektualisasi nilai-nilai tauhid sosial dalam kehidupan bermasyarakat.?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mana nilai nilai tauhid sosial yang ada dalam organisasi IPNU-IPPNU, serta mengetahui sejauh mana

kesesuaian prilaku-prilaku sosial tersebut dengan konteks islam. Dan juga untuk mengetahui efektifitasnya.

D. LANDASAN TEORI

1. KONTEKSTUALISASI
Istilah konteks, kontekstual, kontekstualisasi sesungguhnya telah banyak diakrabi dunia pesantren. Namun perlu sekali kita kaji terlebih dahulu dari segi kebahsaannya. Konteks itu sendiri diambil dari bahasa inggris context atau dalam bahasa arabnya qarinah atau siyaqul kalam yang berarti situasi yang ada hubungannya atau budaya[ ], atau dengan kata lain konteks adalah situasi kondisi yang dilatar belakangi oleh sosial budaya. Sedangkan kontekstual berarti yang berhubungan dengan konteks.
Kalau menurut KBBI digital, Asal mula kontekstualisasi adsalah dari kata kon•teks yang berarti bagian dari suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, atau jika di kaitkan dengan situasi maka kata; konteks berarti lingkungan nonlinguistis ujaran yg merupakan alat untuk memperinci ciri-ciri situasi yg diperlukan untuk memahami makna ujaran. Adapun kontékstualisasi adalah jarak waktu yg memisahkan pembaca teks dengan teks yang ditelitinya sebagai tidak adanya kemungkinan pembaca bertanya secara langsung tentangt teks yg ditelitinya[ ],
Kontekstualisasi itu tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fiqh pasti kontekstual. Artinya fiqh tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit. [ ]
Berdasarkan pengertian di atas dapat peneliti simpulkan, jika di hubungkan dengan subjek penelitian yang akan peneliti lakukan maka kontekstualisasi adalah upaya menyesuaikan nilai-nilai sosial (konteks sekarang) dengan teks-teks ajaran islam yang dalam hal ini di istilahkan dengan tauhid sosial. mungkin kesimpulan ini berbeda dengan pengertian pada umumnya dimana kecendrungan menyesuaikan teks dengan konteks, sebagaimana yang ada dalam kontekstualiasasi dalam misi kristenisasi.
Kesimpulan di atas berdasarkan maqola sebagai berikuut: bahwa Sebenarnya syari’at islam sepanjang sejarah akan selalu sesuai dengan zaman, (Al islamu sholikhun li kulli zaman wa makan), hingga kini pun syari’at islam tetap sesuai dengan konteks kekinian, tinggal bagaimana cara mensikapinya ( cara berprilaku sosial yang islami)

2. NILAI-NILAI SOSIAL
Nilai-Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. [ ]
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya[ ]

3. NILAI-NILAI SOSIAL DALAM ISLAM
Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)
Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin. “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)
Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.

Nilai nilai islam yang mesti di jalankan oleh ummatnya antara lain: [ ]
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum. Sebagaimana hadist berikut:
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
4. Saling menziarahi.
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
5. Memberi ucapan selamat.
Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.
Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan surga. Misalnya;
“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).
“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),
Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.
6. Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).

Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan (Tauhid Sosial). Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada.

4. NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA ISLAM.
Nilai nilai sosial budaya islan antara lain:
a. At tahiyat (salam).
Abdullah bin Amru bin Al-ash r.a. berkata: Seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Apakah yang terbaik di dalam Islam? Nabi s.a.w. menjawab: Memberi makanan dan memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak kau kenal” (HR. Bukhari, Muslim)
Salam, selain do’a juga merupakan pintu pembuka komunikasi. Hendaknya salam ini kita budayakan, karena dampaknya cukup besar terhadap peradaban Islam yang akan datang. Ketika seorang muslim yang belum kita kenal diberi salam maka dia akan membalas salam dan biasanya dilanjutkan jabat tangan, akan terjadi komunikasi, kontak hubungan, selanjutnya terserah anda, apakah akan berkenalan atau silaturahim, dari sinilah muncul benih-benih ukhuwah, dst. Karena itulah Abdullah bin Umar RA sengaja menyempatkan diri untuk pergi ke pasar, dan ia mengucapkan salam kepada setiap muslim yang dijumpainya, sampai suatu saat dia ditanya oleh seseorang; “Apa yang anda perbuat di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak pula membeli dagangan, Anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar, mengapa anda selalu ada di pasar? Jawab Ibnu Umar, ‘Aku sengaja setiap pagi pergi ke pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada setiap muslim yang aku temui” (HR. Bukhari).
b. Bahasa Arab.
Bahasa Arab adalah bahasa kesatuan kaum muslimin sedunia, bahasa yang digunakan untuk komunikasi Allah SWT. dengan hamba-Nya (Rasulullah SAW) berupa Al Quran. Bahasa yang telah dipilih oleh Allah SWT. ini adalah bahasa yang paling sempurna di antara bahasa-bahasa yang ada di bumi ini. Suatu bahasa yang tetap akan terjaga asholah-nya (keaslian) sampai hari qiyamat, tak akan terkontaminasi oleh lajunya peradaban dunia. Tidak seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring dengan globalisasi dan majunya peradaban. Misalnya saja bahasa Indonesia atau bahasa Inggris seratus tahun yang lalu tak mudah dipahami oleh manusia/ bangsanya pada saat ini.
Seseorang tak akan mampu memahami Islam dengan benar tanpa melalui kidah bahasa Arab. Menafsirkan Al qur’an wajib menggunakan kaidah bahasa Arab, bukan dengan kaidah/tata bahasa bahasa selainnya. Seorang muslim tak akan mungkin (mustahil berpisah dari bahasa Arab). Untuk itu kita mesti medalami dan mensyi’arkannya dalam kehidupan sehari hari. Asy Syahid Hasan Al Bana telah mewasiatkan: “ takallamul lughatal ‘arabiyatal fushkha fainnaha min sya’airil islam” (Berbicaralah dengan menggunakan bahasa Arab karena hal ini merupakan bagian dari syi’ar Islam). Shahabat Umar bin Khattab RA. pernah mengatakan: ”ta’allamul lughatal ‘arabiyah fainnaha min diinikum” (Pelajarilah bahasa Arab karena dia adalah bagian dari dien kalian). Juga hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dengan sanad dari Malik:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya , Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab”.
Demikianlah kaum muslimin sedunia telah disatukan dan dipersaudarakan dengan satu bahasa, bahasa Arab. Kita akan jaya dengan bahasa Arab.
c. Penanggalan.
Penanggalan hijrah menunjukkan betapa kuat dan hebatnya jihad dan perjuangan ummat Islam. Sejarah tak mungkin diukir satu orang saja, meski ia mempunyai kemampuan lebih, bahkan ia seorang nabi atau rasul. Sesungguhnya yang membuat sejarah adalah ummat secara keseluruhan, yaitu ummat yang berdiri di pihak rasul-Nya atau qo’id-nya. Sudah berapa banyak rasul yang dikecewakan dan dihinakan oleh kaumnya sendiri dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Maka sesungguhnya ummat sekarang ini terpanggil untuk membuat sejarahnya dengan jiwa mereka sendiri.
Dengan demikian kaum muslimin menjadi excelent (mutamayyiz) tidak mengekor ataupun menyerupai, Yahudi, Nashrani ataupun Majusi, dll. Kita menginginkan kepribadian yang bersih tak terkontaminasi dengan fikroh kafir yang membahayakan. Sudah menjadi aksioma bahwa di antara pilar-pilar suatu ummat adalah sejarahnya yang mereka banggakan yang akan menjadi ukiran peristiwa sejarah dengan penuh perjuangan dan titik darah penghabisan.
d. Busana.
Untuk wanita hendaknya senantiasa menutupkan aurat-nya ketika keluar rumah, dalam hal ini perintah Allah SWT sudah jelas. Hindari pakaian yang menimbulkan fitnah, ataupun perdebatan. Akan tetapi walaupun sudah menutup aurat jika terlalu mewah ataupun terlalu kumuh akan membuat peluang orang untuk menggunjingnya (dosa). Perhatikan juga warna dan corak yang tidak mencolok hingga menarik perhatian banyak orang. Sementara untuk laki-laki jangan memakai pakaian yang tasabuh (meniru) orang kafir. Seperti berpakaian dengan pakaian yang biasa (khusus) dipakai oleh para rahib atau pendeta, biksu, dsb. Hindari pakaian dengan gambar, assesoris, simbul agama tertentu, ataupun juga gambar dan tulisan jorok. Hal ini selain tidak berakhlaq juga akan mengusik kebersihan hati orang lain. Untuk pakaian yang bertuliskan kata-kata tertentu, perhatikan jangan sampai mengganggu konsentrasi orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah di masjid.
Untuk pakaian di masjid hendaknya memakai yang terbaik yang kita miliki, terutama shalat Jum’at. Dalam berbusana yang terpenting adalah memenuhi syarat, yaitu menutup aurat, (tidak menampakkan ataupun menonjolkannya) dan tidak tasabuh, setelah itu bisa menyesuaikan adat setempat. Jadi tidak harus berjubah dan bersorban ala Arab. Namun jika hal itu untuk menandakan rasa cinta terhadap Rasul SAW dalam hal berpakaian maka tentunya tidak mengapa. Akan tetapi hendaknya melihat kondisi masyarakat setempat. Jika mereka anti pati dan semakin menjauhi kita gara-gara pakaian , maka itu belum prioritas untuk diterapkan.
5. TRANSFORMASI NILAI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAAKAT
dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini.. Kuntowijoyo punya pandangan menarik dalam merumuskan proses transformasi ini. “Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif”, demikian Kuntowijoyo. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan praktis Al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif.
Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana mungkin kita dapat mengatur perubahan masyarakat jika kita tak punya teori sosial?
Sementara Syafi’i Ma’arif berpendapat bahwa transformasi ini harus dilakukan dengan membongkar teologi klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan masalah-masalah pemberdayaan masyarakat karena terlalu intelektual spekulatif. Pemberdayaan masyarakat hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang berdaya secara politik, ekonomi, sosial, iptek, dan budaya. Orang yang tidak berdaya tapi ingin memberdayakan masyarakat tidak pernah akan berhasil. Tingkatnya hanya tingkat angan-angan. Umat yang terlalu banyak berangan-angan tapi tidak berdaya adalah beban Islam dan beban sejarah. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menyuruh kita bercermin kepada yang kongkret, kepada yang empirik, sebab di sana juga terdapat ayat-ayat Allah, yakni ayat-ayat kauniyah. Karenanya, suatu sistem teologi yang terlalu sibuk mengurus yang serba ghaib dan lupa terhadap yang kongkret tidak akan pernah menang dalam kompetisi duniawi. Padahal, kejayaan di dunia dibutuhkan untuk menggapai kejayaan di akhirat.

6. TAUHID SOSIAL
Prof. Dr. Amin Rais mengatakan bahwa yang dimaksud tauhid Sosial adalah dimensi sosial dari Tauhidullah. Dimaksudkan agar tauhid Ilahiyah dan Rububiyah yang sudah tertanam di kalangan kaum muslimin dan muslimat, bisa diturunkan lagi kedataran pergaulan sosial, realitas sosial, secara konkrit. ( Rais, 1998: 108). ]
Risalah tauhid ini diturunkan karena dilatarbelakangi oleh budaya paganisme (budaya musyrik) yang telah merusak risalah tauhid yang telah dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya. Risalah tauhid (yang bernama Islam ini) yang dibawa oleh Rasulullah SAW. secara garis besarnya memuat dua dimensi. Dimensi pertama adalah apa yang disebut dengan hablun minallah. Yakni hubungan antara makhluq dan Khaliqnya atau yang dikenal dengan tauhid individual. Hubungan langsung antara makhluq dan khaliqnya ini dalam Islam juga disebut dengan ibadah makhdhah, ibadah murni. Yakni ibadah-ibadah yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Sang Khaliq diatur melalui bidang ilmu tertentu yang disebut dengan fiqh ibadah. Yakni sekumpulan aturan yang digunakan untuk mengatur cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah SWT. Bagaimana cara berwudlu, bagaimana cara shalat, dan lain sebagainya. Tata hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan Sang Khaliq dalam rangka menjaga kwalitas keimanan dan nilai-nilai tauhid ini dikenal dengan tauhid individual.
Dimensi kedua adalah apa yang disebut dengan hablun minannas. Yakni hubungan antara makhluq satu dengan makhluq yang lain. Antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan ini dikenal dengan istilah tauhid sosial. Penggunaan istilah tauhid sosial dalam konteks ini lebih disebabkan oleh adanya alasan bahwa apapun yang diperbuat manusia dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya harus bermuara pada nilai-nilai tauhid. Ini berarti tujuan akhir dari apa yang dilakukan oleh manusia adalah kepada Yang Satu. Yakni, demi dan karena Allah bukan karena yang lain.
Sebagaimana halnya tauhid individual, tauhid sosial dalam arti hubungan sosial juga membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hubungan tersebut. Dalam istilah fiqh dikenal dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial, yakni sekumpulan aturan yang mengatur cara bagaimana manusia melakukan interaksi sosial. Berkaitan dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial ini, terdapat pemahaman yang salah di kalangan masyarakat kita. Selama ini mereka memandang bahwa fiqh mu’amalah atau fiqh sosial hanya menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan perdagangan. Padahal tidak demikian, fiqh sosial mengatur seluruh hubungan sosial manusia tidak hanya sebatas perdagangan, tetapi juga mengatur berbagai bentuk hubungan yang lain. Bagiamana cara berhubungan, berperilaku, dan bersikap dengan keluarga, tetangga, alam lingkungannya dan lain-lainnya. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang harmonis, maka harus ada upaya pembaharuan pemahaman yang keliru tersebut.
Keberadaan tauhid individual dan tauhid sosial (yang sudah diatur dalam fiqh individual dan sosial) harus berjalan secara bergandengan dan bersama-sama. Di sana harus terjadi sebuah keseimbangan dalam tata kehidupan seorang muslim. Sebab tidak bisa dikatakan sebagai seorang muslim yang sempurna jika salah satu hubungan tersebut tidak berjalan secara baik dan seimbang. Misalnya, seseorang baik dalam tauhid individualnya, tetapi tauhid sosialnya kurang baik. Atau sebaliknya tauhid sosialnya baik, tapi tauhid individualnya masih dipertanyakan. Jika demikian, maka di sana akan terjadi sebuah ketidakseimbangan. Mungkin di mata manusia ia dikenal sebagai seorang yang baik dan dermawan. Tetapi di mata Allah SWT ia bukanlah orang yang baik. Atau sebaliknya ia di mata Allah SWT. adalah baik, tetapi lantaran hubungan sosialnya kurang baik maka ia dicap masyarakat sebagai orang yang tidak baik. Yang pada akhirnya dapat menimbulkan prasangka buruk yang berujung pada perbuatan dosa. Untuk menghindarinya, sudah barang tentu mereka yang mempunyai pikiran sehat dapat dipastikan memilih baik pada kedua dimensi tersebut. Yakni baik di sisi Allah dan juga baik di sisi sesamanya.
Penegasan mengenai keseimbangan tauhid individual dan tauhid sosial ini, dapat di analisa melalui teks al-Qur’an. Di dalam teks sakral al-Qur’an banyak sekali kita temukan kata amanu yang digandeng dengan kata amilussalihat. Diantaranya adalah ayat:
“إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ”.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.( Albayyinah QS7)

Dan juga ayat berikut:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلا ظَلِيلا
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan akan Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai kekal dan abadi di dalamnya. Baginya di dalamnya isteri-isteri yang disucikan dan Aku akan memasukkan mereka ke dalam perlindungan-Ku”.
Berdasarkan kedua ayat di atas ditemukan dua kata yang selalu bergandengan. Yaitu kata amanu yang berarti berkaitan dengan persoalan keimanan yang bersifat individual. Sebab hakekat keimanan ini hanya seseorang mukmin dan Allah SWT. yang tahu. Hanya Allah saja yang mengetahui gerak hati seseorang. Dan kata amilussalihat : berbuat kebajikan, yang berarti berkaitan dengan berbuat baik dan menjaga keharmonisan alam, terutama melakukan hubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial.

E. KEGUNAAN PENELITIAN

Manfaat yang di harapkan peneliti dari Hasil penelitian terhadap implementasi tauhid sosial warga ipnu ippnu Solokur, antara lain:
1. Secarateoritis / akademis, penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khazanah kepustakaan pendidikan, khususnya mengenai pendidikan luar sekolah, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang berminat menindaklanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan sampel penelitian yang lebih banyak..
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat bagi organisasi-organisasi kepemudaan dalam mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan konteks islam.


BAB II
METODELOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu Emancipatory Research (Truman, Mertens & Humphries, 2000:4). Metode Rapid Appraisal Procedure digunakan untuk mengkaji karakteristik ke organisasian IPNU-IPPNU Solokuiro. Sedangkan Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Participatory Research.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode kualitatif, Metode Penelitian Menurut Keirl dan Miller dalam Moleong yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya”.
Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Pertimbangan penulis menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Lexy Moleong :
1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan
dengan kenyataan ganda
2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti
dan responden
3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen
pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis hanya akan menggunakan beberapa metode yang relevan dengan pembahasan yang antara lain :
1. Metode Induksi
Metode induksi yaitu suatu cara yang menuntun seseorang untuk hal-hal yang bersifat khusus menuju konklusi yang yang bersifat umum. Berpikir induktif, artinya berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum.
2. Metode Deskriftif
Metode deskriftif adalah memaparkan keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh untuk dibahasakan secara rinci. Jadi, dengan metode ini diharapkan adanya kesatuan mutlak anatara bahasa dan pikiran. Pemahaman baru dapat menjadi mantap apabila dibahasakan. Pengertian yang dibahasakan menurut kekhususan dan kekongkritannya bisa menjadi terbukti bagi pemahaman umum.
3. Metode Komparasi
Metode komparasi yaitu suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik kedalam konklusi baru. Komparasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih. Dengan metode ini penulis bermaksud untuk menarik sebuah kongklusi dengan cara membandingkan ide-ide, pendapat-pendapat dan pengertian agar mengetahui persamaan dari ide dan perbedaan dari ide lainnya, kemudian dapat diambil kongklusi baru. Menurut Winarno Surahmad, bahwa metode komparatif adalah suatu penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan meneliti hubungan lebih dari satu fenomena yang sejenis dengan menunjukkan unsur-unsur persamaan dan unsur perbedaan. Dalam konteks ini peneliti memakai perbandingan secara kuantitatif untuk mendukung gagasan secara kualitatif.

B. Data penelitian
1) Subjek atau unit-unit yang akan di analisis adalah:
 kegiatan ipnu yang melibatkan sebagian ataupun keseluruhan anggotanya
 manajemen organisasi
 sumber pendanaan
 masyarakat sekitar yang terlibat.
2) Data informan
Informan yang akan membantu dalam pengumpulan data adalah
 Ketua organisasi dan beberapa pengurus harian dan juga beberapa anggotanya
 Pembina dan para tokoh masyarakat setempat
 Sebagian Masyarakat

C. Prosedur penggalian data.
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian, karena itu seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
1. Observasi Langsung
Observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam kegiatan sehari-hari, kita selalu menggunakan mata untuk mengamati sesuatu. Observasi ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematik tentang bagimana proses menjalankan program tersebut. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk mencatat bagaimana Manajemen dalam program tauhit sosial, Keterlibatan Anggota dan masyarakat sekitar, dan Unsur pendidikan yang ada di dalamnya. Dengan Observasi lansung ini, peneliti dapat memperoleh data dari subjek baik yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi secara verbal.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)6.
Tujuan penulis menggunakan metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan kongkret tentang akibat yang muncul setelah proses menjalankan program tauhid sosial tersebut.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan yang bisa di dokumentasikan baik berupa photo, video atau karangan, memo, pengumuman, instruksi, majalah, buletin, pernyataan, aturan suatu lembaga masyarakat, dan berita yang disiarkan kepada media massa.
Dari uraian di atas maka metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-catatan penting yang sangat erat hubungannya dengan obyek penelitian.
Tujuan digunakan metode ini untuk memperoleh data secara jelas dan konkret tentang bagaimana proses kontextualisasi program tauhid sosial yang ada di organisasi kepemudaan, khususnya IPNI-IPPNU.

D. Tehnik Analisa Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Dari rumusan di atas dapatlah kita tarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya.
Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif-kualitatif, tanpa menggunakan teknik kuantitatif.
Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu tehnik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data-data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki

E. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan uraian secara jelas, maka penulis menyusun skripsi ini mnjadi lima bagian (bab), yang secara sistematis adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang skripsi ini, yang dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, landasan teori dan manfaatnya.
Bab II : Metodelogi, bab ini akan menjelaskan tentang pendekatan dan jenis penelitian serta prosedur dan analisis data.
Bab III : Pembahasan, Pada bab ini peneliti akan membahas bagaimana mplementasi tauhid sosial di IPNU IPPNU Solokuro.
Bab IV : Kajian tentang kontekstualisasi tauhid sosial, Pada bab ini penulis akan memperjelas arah dari pembahasan utama tentang kontextualisasi tauhid sosial, yang didalamnya mencakup bagaimana nilai ketauhidan dijadikan landasan dalam berhubungan sosial dalam masyarakat. Didalam bab ini mencakup tentang: Bagaimana kontektualisasi tauhid sosial mampu eksis di masyarakat. kemudian pada sub pokok bahasan kedua adalah mengenai Implikasi tauhid sosial yang didalamnya mencakup tiga implikasi diantaranya yaitu Implikasi pada cirikhas masyarakat yang sosialis Kedua adalah implikasi yang berkaitan dengan pendidikan dan kesejahtraan masyarakat. Ketiga adalah implikasi keseimbangan hablumminallah dan hablumminannas. Dan pada sub pokok bahsan terakhir penulis akan memberikan gambaran bagaimana Trasformasi Nilai tauhid sosial Dalam Ranah Praksis Pendidikan Islam yang didalmnya mencakup tentang model-model pendekatan diantaranya yaitu; pendekatan humanistik religious, rasional kritis, fungsional, dan pendekatan kultural.
Bab V : Kesimpulan, sekaligus penulis memberikan saran-saran bagi penulis selanjutnya berkaitan dengan kontextualisasi tauhid sosial dan keterkaitannya dengan Pendidikan Islam

DAFTAR PUSTAKA
– Moleong lexy j, Metode penelitian kualitatif, PT REMAJA ROSDAKARYA,2008
– Asrorunni’am saleh, KAUM MUDA NU DALAM LINTAS SEJARAH..Elsa.Jakarta.2003
– Amin Rais, Cakrawala Islam, Bandung; Mizan. 1997
– Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, Penerbit Mizan, Bandung.
– Ma’arif Syafi’I, 1997, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
– Amir Tajrid, M.Ag http://bankermakalah.blogspot.com/2007/03/menyeimbangkan-tauhid individual-dan.html. di download 02 juni 2011
– Hatta Syamsuddin, Lc, Makalah Seminar Sehari tentang Pemuda, Gerakan dan Kebangkitan pemuda islam, 29 Agustus 2010
– KBBI.v1,3
http://opi11omb.com/(haditsweb3,0)
– Imam An-nawawi, Arbain Nawawi. penerbit Departemen Agama Saudi Arabia, 1422 H/2001 M, Hal 38.
http://ari2abdillah.wordpress.com 25Juni, 2007 oleh ari2abdillah di download 17,07.11.

belajarku

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada beberapa dekade terakhir sampai pada abad millennium ini, kita bisa melihat betapa pendidikan di Indonesia seperti “mati suri” akan nilai-nilai yang menjadi budaya bangsa timur yang cenderung untuk mengedepankan nilai-nilai moralitas, etika masyarakat yang berbudi luhur, serta menjunjung tinggi nilai-nilai dari agama (religius) sesuai dengan jati diri dan kepribadian bangsa. Kita bisa melihat pada akhir-akhir ini para generasi muda, khususnya para pelajar yang sedang terjangkiti penyakit “dekadensi moral” seperti kekerasan atau tawuran antar pelajaran, pemerkosaan, hamil diluar nikah, pengunaan obat terlarang, minum-minuman keras, perkelahian dan lain sebagainya seolah-olah sudah menjadi hal yang biasa. Hal inilah menjadikan bangsa Indonesia pada hari ini terasa seperti tercerabut dari akar budaya bangsa sendiri.
Kejadian-kejadian semua itu seolah hanya menjadi sebuah tontonan bagi masyarakat dan rakyat bangsa Indonesia. Mengapa semua itu bisa terjadi? Padahal kita semua tahu bahwa dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, religius, suka gotong royong, suka bertoleransi, suka hidup dalam kedamaian dan kerukunan serta mempunyai budaya yang luhur, yang tentunya hal ini menjadi sebuah fenomena pendidikan bangsa Indonesia yang harus segera diatasi.
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, kita bisa mencermati betapa besar dan tingginya pelanggaran pada nilai-nilai yang terkandung dalam Bangsa ini. Hal ini diperparah lagi oleh tindakan-tindakan yang sangat tidak etis yang dipertontonkan oleh para oknum pejabat dan tokoh masyarakat yang hampir tersebar keseluruh aspek dan sendi-sendi kehidupan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang menjadikan runhtuhnya harga dan martabat bangsa Indonesia.
Lebih tragisnya, kasus korupsi terbesar di Indonesisa justru berada di Department Pendidikan (DIKNAS) dan Department Agama (DEPAG) yang notabene adalah lembaga negara tempatnya orang-orang yang berpendidikan tingkat tinggi dan para tokoh agama (paling faham terhadap agama). Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, bahwa lembaga tersebut tidak lebih hanya menjadi sarangnya para penyamun, para penjahat Negara, pemakan harta rakyat, yang seharusnya diberdayakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Hal ini menunjukkan indikasi bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini belum memberikan hasil yang optimal dan sesuai dengan sasaran atau bisa dibilang inilah akibat kegagalan dari sector pendidikan dalam penyadaran nilai-nilai secara bermakna dalam kehidupan. Nilai-nilai luhur dan universal yang ditanamkan dan disosialisasikan di sekolah-sekolah tampaknya belum menjadi karakter yang mempribadi atau menginternalisasi pada diri peserta didik.
Salah satu penyebab rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia setidaknya diakibatkan oleh adanya pergeseran makna secara subtantif dari pendidikan ke pengajaran. Maka yang terjadi adalah pendidikan yang syarat akan muatan nilai-nilai moral bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai transfer pengetahuan an sich. Lebih ironis lagi, sinyalemen itu sering terjadi justru dalam mata pelajaran yang berlabelkan agama ataupun pendidikan moral, yang dulu bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sekarang menjadi Pendidikan Kewarganegaraan atau PPKn yang tentunya syarat akan muatan nilai, moral dan norma. Sepertinya tidak sulit kita menemukan pada dua mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif berlangsung seperti halnya pada mata pelajaran lainya seperti saintek atau IPA.
Diakui atau tidak, bahwa ternyata ilmu dan tekhnologi tidak mampu memberikan makna peningkatan kecerdasan yang sebenarnya, kalau tidak disertai dengan nilai yang kokoh. Untuk itu, disinilah pentingnya pendidikan yang sarat nilai diberikan sejak dini di keluarga dan sekolah, agar mereka mempunyai kesadaran nilai yang tinggi yang pada gilirannya dapat memotivasi atau bisa memberi stimulus bagi mereka untuk berprilaku yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Kematangan secara moral menjadikan seseorang mampu memperjelas dan menentukan sikap terhadap subtansi nilai dan norma, demikian pula pembuktian akan jati diri dan totalitas suatu bangsa tidak terlepas dari kematangan moral yang dimiliki.
Perlu diketahui, pada dasawarsa terakhir ini terjadi kecenderungan baru di dunia yaitu tumbuhnya (kembali) kesadaran nilai. Kecenderungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai sebuah titik balik dalam peradaban manusia. Dimana-mana orang berbicara tentang nilai dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang nilai atau yang terkait dengan nilai dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya dianggap “bebas nilai” (Value-free) sekalipun, kedudukan dan peran nilai makin banyak diangkat. Misalnya, orang sekarang hampir tidak pernah lagi berbicara tentang sains yang bebas nilai. Bahkan dikalangan saintis sendiri, dalam pengertian ilmu-ilmu alam, sekarang mulai ada rasa malu untuk berbicara tentang ilmu yang bebas nilai –sesuatu yang hingga tahun 1970-an masih sering diungkapkan.
Sementara itu, selama dua dasawarsa terakhir, para ahli pendidikan sains mengembangkan teori-teori dan pendekatan yang menghubungkan pendidikan sains dengan lingkungan yang dikenal dengan Sains, Tekhnologi, dan Masyarakat. Diantara strateginya adalah dengan memberikan muatan nilai pada sains, nilai dimaksud dapat berupa nilai budaya dan nilai etik-moral, termasuk nilai moral keagamaan. Hal ini disebabkan karena sains dan tekhnologi sebagai (penerapannya) mempunyai implikasi social dan moral yang luas.
Dekadensi moral yang terjadi dewasa ini sebenarnya juga disebabkan oleh masih kurang efektifnya pendidikan dalam arti luas (di rumah, di sekolah, di luar rumah dan sekolah). Pelaksanaan pendidikan yang sarat nilai dianggap belum mampu menyiapkan generasi muda bangsa menjadi warga negara yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan reposisi, reevaluasi, dan redefinisi pendidikan nilai. Keteladanan, keterpaduan, dan kesinambungan penyelenggaraan pendidikan nilai yang dilakukan orang tua di rumah (lingkungan), para guru di sekolah, para Pembina/instruktur/pelatih di luar sekolah dan di luar rumah (pendidikan informal, formal, nonformal); serta penyampaian materi yang didekati dengan metode-metode yang menyentuh totalitas emosional anak adalah merupakan prinsip-prinsip penting yang sangat perlu diperhatikan menuju terwujudnya kualitas karakter bangsa yang diharapkan.
Sasaran pembangunan pendidikan di Indonesia adalah untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotic, berdisiplin, kreatif, produktif, dan professional demi tetap mantapnya budaya bangsa yang beradap, bermartabat, kehidupan yang harmonis dan pada nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan di sekolah. Namun, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai keberagaman atau majemuk dalam berbagai pengertian mulai etnis, ras, keagamaan, maka secara otomatis mempunyai kerangka nilai yang berbeda-beda. Sehingga relative sulit untuk menemukan dan mengembangkan nilai-nilai universal yang merupakan nilai bersama.
Walaupun demikian, pendidikan yang mempunyai nilai universal dalam masyarakat merupakan proses belajar terus-menerus bagi semua orang dan semua golongan. Sehingga pada kali ini penulis akan banyak memfokuskan pada pendidikan nilai dalam aspek agama (Islam) sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni penulis dijurusan Pendidikan Islam, Sehingga ada sinergitas antara pendidikan nilai yang masih bersifat universal tersebut dengan pendidikan Islam.
Berbicara tentang Pendidikan Islam, kita tidak bisa melepaskan dari struktur bangunan Islam itu sendiri. Islam sendiri mempunyai kepentingan dan komitmen untuk menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan dan praktik dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mempunyai landasan tauhid ini adalah pendidikan yang mempunyai landasan kuat terhadap nilai ilahiayah (teologi) sebagai acuan normative-etis dan nilai-nilai insaniah dan alamiah sebagai acuan praksis.
Sehingga dari pandangan ini, tauhid tidak dijadikan sebagai “materi pelajaran” tetapi lebih sebagai system ataupun konsep yang mendasari keseluruhan system pendidikan Islam. Dengan kata lain tauhid akan menjadi basis yang melandasi keseluruhan aktivitas dari proses pendidikan Islam.
Karena subyek utama dalam pendidikan adalah manusia, maka dengan tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik menjadi “manusia tauhid”, dalam arti manusia yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap Tuhannya dan menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya. Oleh karena itu pendidikan Islam harus dibangun atas landasan yang kuat dan benar dari pandangan dunia tauhid.
Dalam makna lain, tujuan pendidikan Islam adalah proses sesuatu yang terikat oleh nilai-nilai ketuhanan (teistik) atau ketauhidan. Karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keunggulan spiritual dengan cultural. Dengan demikian, budaya akan berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai agama, yang mana pada gilirannya akan melahirkan hasil cipta, karya, rasa dan karsa manusia yang sadar akan nilai-nilai ilahiah (keimanan-ketauhidan).
Kesadaran tinggi akan keberagamaan yang mengkristal dalam pribadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah wujud dari kepatuhannya terhadap Allah SWT. Kepatuhan ini dilandasi oleh keyakinan dalam diri seseorang mengenahi pentingnya seperangkat nilai religius yang dianut. Karena kepatuhan maka niat, ucapan, tindakan, perilaku dan tujuan senantiasa diupayakan berada dalam lingkup nilai-nilai yang diyakini. Apabila hal ini dikaitkan dengan pendidikan Islam maka akan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam pencapaian tujuan dari pendidikan Islam.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap pendidikan yang sarat akan nilai-nilai luhur, karena sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni oleh penulis adalah pendidikan Islam maka kajian tentang nilai ini kemudian dispesifikkan atau dikhususkan pada aspek nilai ketauhidan, yang sekaligus sebagai landasan dalam pengembangan pendidikan Islam. Sehingga penulis memberi judul penulisan ini dengan judul: “PENDIDIKAN BERBASIS KETAUHIDAN (Tela’ah Nilai Ketauhidan Dalam Praksis Pendidikan Islam)”

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka focus masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Konsep Tauhid dalam Islam?
2. Bagaimana Pendidikan Islam dalam Kerangka Tauhid?
3. Bagaimana Pendidikan Berbasis Ketauhidan dalam praksis pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan secara umumnya adalah mengungkapkan konsep pendidikan yang berbasiskan tentang nilai-nilai ketauhidan dalam kerangka Pendidikan Islam.
Sedangkan tujuannya secara khusus adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep ketauhidan sebagai upaya untuk memperkaya dan mengembangkan khazanah keilmuan dalam pendidikan Islam.
2. Untuk mengungkapkan Pendidikan Berbasis Ketauhidan sebagai upaya mengembangkan Pendidikan Islam.
3. Untuk mengungkap lebih jauh bagaimana Pendidikan Berbasis Ketauhidan jika diimplementasikan atau dipraksiskan dalam wadah pendidikan Islam.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulis berkaitan dengan penulisan skripsi ini, antara lain adalah:
1. Kajian tentang pendidikan berbasis ketauhidan ini bermaksud memberikan sumbangsih pemikiran terhadap dunia pendidikan terutama pendidikan Islam, yang berkaitan dengan upaya mengembalikan nilai-nilai religius dan nilai-nilai luhur bangsa, yang pada hari ini telah banyak tergantikan atau bahkan ditinggalkan oleh masyarakat (baca: kaum muslim).
2. Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan sekaligus kualitas sumber daya manusia. Karena memang, pada hakekatnya pendidikan dirancang untuk mengembangkan potensi atau fitrah (keillahiahan) yang dimiliki manusia, sehingga sumberdaya manusia menjadi berkualitas secara jasmani dan rohani. Sebagai upaya penumbuhan fitrah illahiah peserta didik, maka diperlukan sebuah konsep pendidikan yang mampu merealisasikan fitrah yang telah ada tersebut, yaitu dengan konsep pendidikan nilai ketauhidan. Karena itu penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pendidikan Islam.
3. Diharapkan mempunyai arti kemasyarakatan khususnya bagi umat Islam dan dapat menjadi acuan untuk mengkritisi pemahaman kita tentang tauhid dan cara bertauhid yang kemudian disinergiskan dengan dunia pendidikan.
4. Diharapkan juga mampu memberikan inspirasi kepada para pemikir, praktisi dan seluruh pelaku pendidikan, dan terlebih khusus bagi para actor pendidikan Islam untuk lebih intensif dan massif dalam mengembangkan pendidikan Islam yang sampai hari ini bisa dikatakan belum begitu banyak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan cenderung mengalami stagnasi dan kemunduran.
E. Definisi Operasional
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan skripsi ini ini, ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional. Sesuai dengan judul penulisan “Pendidikan Berbasis Ketauhidan”, yang membahas tentang konsep ketauhidan dalam Islam, yang kemudian disinergiskan dengan pendidikan Islam itu sendiri.
Pengunaan istilah “Berbasis” yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut, “berbasis” berasal kata dari kosa kata “basis” yang artinya azas, dasar, pokok dasar atau landasan, yang kemudian mendapatkan imbuhan “ber-” yang mempunyai makna memiliki. Jadi yang dimaksud “berbasis” dalam penulisan ini adalah pendidikan yang mempunyai azas atau dasar.
Sedangkan pemakaian istilah konsep didalam skripsi ini, dikarenakan konsep merupakan rancangan dasar, pemikiran dasar dari pandangan Islam mengenahi tauhid yang akan dijadikan basis dari sebuah pendidikan Islam. Sehingga penulis tidak memakai istilah doktrin atau teori, karena doktrin itu sendiri memiliki arti ajaran atau ilmu pengetahuan yang dianut dan dijadikan pegangan, dan biasanya bersifat memaksa dengan tujuan menjadi pegangan hidup. Adapaun teori merupakan rancangan yang sistematis dalam sub tertentu. Oleh karena itu, maka penulis memakai istilah konsep dalam skripsi ini. Kata ke-tauhidan-an adalah kata tauhid yang berimbuhan ke-an, kata tauhid berasal dari bahasa Arab wahhada-yuwahhidu-tawhidan tauhid sama dengan wahid yang berarti “satu” atau “esa” atau “tunggal”. Tauhid berarti menyakini bahwa Allah SWT adalah satu atau esa atau mengesakan Allah yang meliputi seluruh pengesaan. Tidak ada yang menyamaiNya, baik dalam zat-Nya maupun dalam perbuatan-Nya menciptakan alam semesta.
Tauhid, secara terminologis, mempunyai artian keesaan (berasal dari kata wahida yang berarti satu atau esa). Secara religius, tauhid mempunyai artian pengakuan atas keesaan Tuhan, keyakinan atas “kehadiran” peran Tuhan dalam semua ruang dan waktu dan pelaksanaan keyakinan tersebut dalam kehidupan praktis-nyata. Diskusi tauhid melampaui pembicaraan logis-rasional yang sering hanya mengambang pada tataran teori tanpa nilai karena tanpa diikuti eksistensi pelaksanaan praktis. Tauhid pun tidak hanya terbatas pada definisi serta perdebatan golongan filosof dan teolog, mengenai inti pokok ketuhanan dalam islam, tetapi tauhid lebih kepada keyakinan serta pengalaman religius yang mampu melingkupi wilayah transenden dan praktis sekaligus secara bersamaan tanpa adanya konflik.
Dalam konsep Islam tentang tauhid ini sebenarnya sudah terformulasi secara sederhana dalam kalimat lailaha illa Allah tiada illah (tuhan) kecuali Allah (Tuhan) atau yang lebih dikenal dengan shahadat, kalimat persaksian akan adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Sedangkan yang dimaksud dari kata ketauhidan adalah nilai-nilai atau makna dari tauhid itu sendiri, jadi Pendidikan Berbasis Ketauhidan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang mempunyai azas atau pokok dasar tentang nilai-nilai tauhid (ketauhidan). Yang dalam penulisan kali ini makna ketauhidan tidak hanya terfokus pada pembicaraan tentang Tuhan atau Allah (teologi) semata. Diskursus tentang ketauhidan ini akan banyak disingungkan dengan aspek kemanusiaan atau dalam aspek wilayah antropo-sosiologis dan kosmologisnya dengan tetap berpegangan pada makna dari tauhid sendiri yang berarti mengesakan Allah meliputi segala pengesaannya, kesatuan Tuhan dan kesatuan kebenaran.
F. Batasan Masalah
Agar tidak terjadi mis-undertansding atau salam pemahaman dalam memahami hasil dari penulisan ini nanti, maka penulis perlu untuk menjelaskan batasan pembahasannya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengungkapkan konsep tauhid yang mana didalamnya mencakup tentang nilai-nilai religius spiritual, religius-teistik (ketauhidan). Kemudian konsep tauhid disini akan disinergiskan dengan pendidikan Islam, yang didalamnya juga dilandasi oleh nilai ketauhidan.
Sehingga pada entri pointnya garapan dari penulisan ini adalah mengungkap bagaimana nilai ketauhidan (religius-spiritual) yang kemudian diejawentahkan dalam kehidupan manusia atau aspek kemanusian (antropo-sosiologis) dan sekaligus aspek kosmologisnya ini mampu memberi sebuah landasan yang kuat dalam dunia pendidikan Islam yang kemudian penulis sederhanakan dalam bahasa Pendidikan Berbasis Ketauhidan, dan akan sedikit banyak mengulas tentang implikasi yang diberikan pada dunia Pendidikan Islam.
Dari sini diharapkan bahwa nilai ketauhidan mampu memberi landasan yang kuat bagi seseorang (muslim) atau peserta didik dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, yakni dengan menyesuaikan diri pada nilai-nilai iilahiah dan insaniahnya (tauhid secara luas).

G. Metode Penulisan
a. Metode Pembahasan
Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada metode yang dikembangkan oleh Jujun Suriasumantri yaitu deskriptif analitis kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini merupakan pengembangan dari metode deskriptif atau yang dikenal dengan sebutan deskriptif analitis, yang mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini kurang menonjolkan aspek kritis yang justru sangat penting dalam mengembangkan sintesis. Karena itu, menurut Jujun seharusnya yang lengkap adalah metode deskriptis analisis kritis atau disingkat menjadi analitis kritis.
Metode analitis kritis bertujuan untuk mengkaji gagasan primer mengenai suatu “ruang lingkup permasalahan” yang diperkaya oleh gagasan sekunder yang relevan. Adapun fokus penulisan analitis kritis adalah mendeskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi berupa perbandingan, hubungan dan pengembangan model.
Melihat banyaknya metode yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis hanya akan menggunakan beberapa metode yang relevan dengan pembahasan yang antara lain :
1. Metode Deduksi
Pengertian dari metode deduktif ialah cara berpikir yang berangkat dari pengetahuan atau hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik menuju hal-hal yang bersifat khusus. Sebagaimana dikatakan Sutrisno Hadi, adalah dengan deduksi kita berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum, dan bertitik tolak dari pengetahuan umum itu, kita hendak memulai pekerjaan yang bersifat khusus.
2. Metode Induksi
Metode induksi yaitu suatu cara yang menuntun seseorang untuk hal-hal yang bersifat khusus menuju konklusi yang yang bersifat umum. Berpikir induktif, artinya berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum.
3. Metode Deskriftif
Metode deskriftif adalah memaparkan keseluruhan data hasil penelitian yang diperoleh untuk dibahasakan secara rinci. Jadi, dengan metode ini diharapkan adanya kesatuan mutlak anatara bahasa dan pikiran. Pemahaman baru dapat menjadi mantap apabila dibahasakan. Pengertian yang dibahasakan menurut kekhususan dan kekongkritannya bisa menjadi terbukti bagi pemahaman umum.
4. Metode Komparasi
Metode komparasi yaitu suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang ditarik kedalam konklusi baru. Komparasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu compare, yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih. Dengan metode ini penulis bermaksud untuk menarik sebuah kongklusi dengan cara membandingkan ide-ide, pendapat-pendapat dan pengertian agar mengetahui persamaan dari ide dan perbedaan dari ide lainnya, kemudian dapat diambil kongklusi baru. Menurut Winarno Surahmad, bahwa metode komparatif adalah suatu penyelidikan yang dapat dilaksanakan dengan meneliti hubungan lebih dari satu fenomena yang sejenis dengan menunjukkan unsur-unsur persamaan dan unsur perbedaan. Dalam konteks ini peneliti banyak melakukan studi perbandingan antara satu teori dengan teori yang lain, atau studi gagasan dengan gagasan yang lain untuk disajikan suatu pemahaman baru yang lebih komprehensif.

b. Sumber Data
Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis akan akan mengambil dan menyusun data yang berasal dari beberapa pendapat pemikir pendidikan, baik yang berbentuk buku-buku, majalah, jurnal maupun artikel yang ada, serta ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dengan pembahasan skripsi

c. Tehnik Pengumpulan Data
Sebelum penulis menjelaskan tehnik pengumpulan data dari penulisan ini, perlu diketahui bahwa penulisan ini bersifat kepustakaan (Library Reaseach). Karena bersifat Library Reasech maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan tehnik dokumenter, artinya data dikumpulkan dari dokumen-dokumen, baik yang berbentuk buku, jurnal, majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis.

d. Tehnik Analisa Data
Analisa data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.
Tehnik analisa pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode analitis kritis. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah Content Analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh pendidikan yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan uraian secara jelas, maka penulis menyusun skripsi ini mnjadi lima bagian (bab), yang secara sistematis adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang skripsi ini, yang dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaatnya, definisi operasional, batasan masalah, metode penulisan yang dibagi menjadi empat bagian yaitu metode pembahasan, sumber data, tehnik pengumpulan data, dan tehnik analisa data, serta terakhir adalah sistematika pembahasan.
Bab II :
Kajian konsep Tauhid, yang didalamnya tercakup dalam: Tauhid Dalam Kehidupan: Memaknai Tauhid; Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulluhiyah, Tauhid Sebagai Pandangan Dunia. Tauhid Dan Semangat Ilmiah,. Konsepsi Tauhid Dan Pendidikan, disini akan memberikan langkah awal pada penulis dalam mengambarkan sebuah konsep Pendidikan Berbasis Ketauhidan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Bab III :
Kajian tentang pendidikan Islam dalam kerangka tauhid, yang memang mendapatkan porsi paling banyak dalam penulisan ini, didalamnya mengupas tentang berbagai hal diantaranya adalah: Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam, disini membahas tentang Konsep Manusia Dalam Pandangan Islam, Haqeqat Penciptaan Manusia, Ikhwal Tentang Fitrah Manusia dan bagaimana Peran Manusia dan Pendidikan Dalam Setting Perubahan Sosial.
Pada pokok bahasan selanjutnya penulis akan banyak pengupas tentang Pendidikan Dalam Perspektif Islam, yang didalamnya mencakup tentang; Makna Pendidikan bagi Manusia, Memahami Istilah Pendidikan Islam, Dasar Pendidikan Islam, Tujuan Pendidikan Dalam Islam.
Pada sub pokok bahasan kedua penulis akan membahsa lebih jauh tentang pengembangan fitrah-tauhid dalam pendidikan yang didalamnya mencakup tentang; Pendidikan sebagai upaya Pengembangan Fitrah Manusia, dan Tauhid Sebagai Landasan Pendidikan
Pada sub pokok bahasan ketiga penulis akan memberikan gambaran umum tentang bagaimana Tauhid dijadikan sebagai kerangka pendidikan Islam, didalamnya akan membahas tentang; Pendidikan Berwawasan Ketauhidan-Humanis, Pendidikan Berbasis Ketauhidan yang didalamnya terkait dengan trypola hubungan sebagai sebuah pengembangan dari konsep Tauhid, yakni Hubungan Teologis, Hubungan Antropo-Sosiologis dan Hubungan Kosmologis.
Bab IV :
Pada bab ini penulis akan memperjelas arah dari pembahasan utama tentang Pendidikan berbasis ketauhidan, yang didalamnya mencakup bagaimana nilai ketauhidan dijadikan landasan dalam pendidikan Islam. Didalam bab ini mencakup tentang: Bagaimana Pendidikan Berbasis Ketauhidan Memasuki Relitas Pendidikan Islam, kemudian pada sub pokok bahasan kedua adalah mengenai Implikasi Pendidikan Berbasis Ketauhidan yang didalamnya mencakup tiga implikasi diantaranya yaitu Implikasi pada Visi dan Orientasi Pendidikan Islam Kedua adalah implikasi yang berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam (Ultimate goal), dan Ketiga adalah implikasi dari konsep tauhid kepada muatan materi dan metodologi pendidikan.
Dan pada sub pokok bahsan terakhir penulis akan memberikan gambaran bagaimana Trasformasi Nilai Ketauhidan Dalam Ranah Praksis Pendidikan Islam yang didalmnya mencakup tentang model-model pendekatan diantaranya yaitu; pendekatan humanistik religious, rasional kritis, fungsional, dan pendekatan kultural.

Bab V : Kesimpulan, sekaligus penulis memberikan saran-saran bagi penulis selanjutnya berkaitan dengan Pendidikan Berbasis Ketauhidan dan keterkaitannya dengan Pendidikan Islam.